Senin, 02 Mei 2011

Kebijakan Pembangunan Masih Mengisolasikan Masyarakat Desa


     Hingga sekarang masih terjadi pengisolasian desa dan potensi yang ada di sana dari kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan. Dan keberadaan perusahaan-perusahaan besar yang tak jauh dari lingkungan masyarakat desa telah membuat warga kian terpinggirkan. Harusnya pemerintah menyadari apapun kebijakan yang diambil, masyarakatlah aktor atau pelaku utamanya. 

     Demikian pendapat pengamat perekonomian dari Universitas Jambi (Unja), DR. Johannes S, dalam suatu pertemuan dengan KKI (Komunitas Konservasi Indonesia) Warsi. Turut hadir dalam pertemuan itu Kepala KSDA Jambi, Ir. Agus Priambudi, MSc, dan Kasubdin Penataan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Jambi, Ir. H. Daru Pratomo. Dari KKI Warsi sendiri hadir Koordinator Program Suku Anak Dalam (SAD) KKI Warsi, Robert A, dan Koordinator Unit Fasilitasi Desa KKI Warsi, Budi Retno Minulya.  

     Johannes menambahkan harus ada kesatuan atau kesepahaman yang sama dengan masyarakat desa dalam merancang pembangunan ekonomi mereka, apa saja yang menjadi potensi masyarakat desa harus digali dan dijadikan pijakan pembangunan. Selama ini ketika pembangunan dalam bentuk proyek, pemerintah kabupaten tak menyadari pentingnya pembangunan bagi desa-perdesa, hal itu baru terasa penting ketika otonomi digulirkan.  

     Tak jauh berbeda dari pendapat tersebut, Budi Retno Minulya mengatakan seringkali beberapa dari program pembangunan tidak efektif, tak didasari pada kebutuhan desa. Sehingga tak terelakkan masyarakat desa pun mengalihkan perhatian pada potensi hutan, potensi yang ada di desa terabaikan. Salah satunya mengambilan hasil hutan dari Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). “Melakukan penyelamatan terhadap hutan atau TNBD sama artinya dengan upaya pengembangan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat desa. Kita tak bisa ‘teriak’ jangan masuk hutan sementara pengembangan ekonomi mereka tak terpedulikan,” tegasnya.Warsi sendiri telah mengupayakan adanya Gerakan Kembali ke Sawah (GKS) agar masyarakat desa lebih ‘tersibukan’ dalam mengolah sawah mereka.  

     Mengenai keberadaan Orang Rimba dalam kawasan TNBD, menurutnya, juga terancam jika hutan terancam. Secara cultural  Orang Rimba memiliki keterbatasan untuk secepatnya melesap dalam perubahan jika mereka berpindah tempat tinggal (ke luar rimba). Perubahan itu baiknya berlangsung atas keinginan mereka dan tentunya melalui proses bertahap atau secara perlahan dan tak dipaksakan.  

     Untuk komentar tersebut, Robert menambahkan kalau Orang Rimba memiliki kekhususan budaya, mempunyai pantangan-pantangan, sehingga terlihat adanya pembatasan jati diri Orang Rimba dari masyarakat luar hutan. Orang Rimba sangat tergantung pada hutan, tak hanya untuk sekedar mencari makan (berburu atau memperoleh umbi-umbian) namun juga demi kehidupan ritual mereka. Sebagai Antropolog yang sekian lama bergaul dengan Orang Rimba, ternyata Robert tak pernah dapat menyaksikan acara ritual Orang Rimba ini karena budaya ritual itu merupakan rahasia komunitas tersebut yang tak boleh diketahui pihak luar.  

     Kehadiran TNBD, ungkapnya, harus diartikan sebagai sarana untuk mengarahkan mereka hidup normal ke luar rimba. Diiyakininya Orang Rimba pasti bisa mengikuti proses perubahan menjadi masyarakat luar. Namun itu perlu proses pendampingan agar mereka tak tergoncang dengan perubahan hidup di luar. Orang Rimba harus berubah tetapi sesuai dengan daya dukung budaya mereka.  

     Untuk action pemerintah dalam menyelamatkan TNBD, giliran Daru menjelaskan kalau Dinas Kehutanan Jambi telah melakukan penataan batas terhadap TNBD yang masuk kawasan beberapa Kabupaten di Jambi. Namun aplikasi di lapangan diakuinya masih belum sempurna terlaksana. Masih memerlukan sosialisasi tata batas. Dan mengenai upaya penyelamatan hutan secara menyeluruh, dia memaparkan kalau idealnya setiap luasan hutan 5.000 ha harus ada Polhut. Adanya pendapat masyarakat kalau Dinas Kehutanan Jambi memastikan Polhut ada di setiap pos yang ditetapkan namun dalam kenyataan kayu-kayu yang ditebang secara illegal masih saja bisa keluar dari hutan, Daru  menanggapi kalau hal tersebut akan menjadi evaluasi bagi Dinas Kehutanan Jambi. “Kebocoran itu tak boleh lagi terjadi,” ucapnya. 

     Sedangkan kaitannya dengan masyarakat desa, harus ada pelibatan masyarakat dengan perusahaan yang memanfaatkan hutan. Bentuk keterlibatan itu berupa sharing saham dengan perusahaan HPH atau melibatkan mereka sebagai tenaga kerja. Hak adat mereka sendiri juga dihargai. Pembinaan terhadap perusahaan perkebunan harus atas dasar menguntungkan masyarakat. Selanjutnya Agus Priambudi menjelaskan kalau upaya KSDA sendiri demi penyelamatan kawasan hutan terutama TNBD, dengan melakukan perlindungan terhadap jenis potensi hutan yang terdiri dari tanaman obat dan lainnya. KSDA telah upayakan pembudidayaan tanaman obat di lahan seluas 1 ha di Desa  Bukit Suban, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, termasuk di areal perkantoran bupati Sarolangun.

     Nilai ekonomi tanaman ini sangat tinggi bagi masyarakat sekitar TNBD. Namun tentunya membutuhkan kemitraan masyarakat sekitar untuk pengolahannya. Keberadaan TNBD bisa juga  menjadi wisata pendidikan atau rekreasi pendidikan bagi generasi muda Jambi (siswa maupun mahasiswa). Untuk itu jika ada sekolah di Jambi yang ingin masuk ke TNBD bisa diawali dengan menghubungi kantor KSDA Jambi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar