Senin, 02 Mei 2011

Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pembangunan Desa

     
     Strategi pembangunan Indonesia adalah peningkatan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya melalui arah kebijakan pembangunan sektoral dan pemberdayaan masyarakat (people empowering) terutama dipedesaan. Pembangunan desa bersifat multisektoral dalam arti pertama sebagai metode pembangunan masyarakat sebagai subyek pembangunan; kedua sebagai program dan ketiga sebagai gerakan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan dilandasi oleh kesadaran untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. 
     Berdasarkan catatan statistik diketahui bahwa hampir 80% penduduk di Indonesia bertempat tinggal dipedesaan. Dengan jumlah penduduk yang besar dan komponen alam yang potensial akan mendapakan asset pembangunan, apabila dikembangkan dan diaktifkan secara intensif dan efektif untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.  

     Dalam Tap MPR No. IV Tahun 1999 tentang GBHN 1999-2004 mengamanatkan bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana. pembangunan system agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumberdaya alam adalah untuk mempercepat pembangunan pedesaan. Untuk visi, misi, wawasan pembangunan, arah dan pendalaman pembangunan menurut GBHN 1999-2004 yang dimanteli dengan pembangunan daerah, maka dikembangkan salah satu program pembangunan pedesaan yang berakar dari masyarakat yaitu Dana Pembangunan Desa / Kelurahan (DPD/K).  

     Kebijakan dana pembangunan desa secara bottom up yang pada hakekatnya menjadi tidak lain dari suatu upaya politik developmentalism di desa, yang penyelenggaraannya ditekankan pada dua aspek yaitu pertama, menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya; kedua, mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang/peluang yang tercipta (A.Gany, 2001:5). Namun terjadi democracy crisis, suatu kondisi dimana proses pengambilan keputusan (kebijakan) yang menyangkut hajat hidup masyarakat, berjalan tanpa keterlibatan substansial.  

     Pembatasan akses rakyat desa dalam arena pengambilan kebijakan (political decision), para pengambil kebijakan menempatkan diri layaknya pihak yang memiliki otonomi untuk mengambil keputusan, meskipun tanpa partisipasi politik dan persetujuan dari rakyat desa (Juliantara, 2003:13). Kebijakan didesa lebih merupakan konvensi yang secara inkremental dibangun atau berupa cetusan-cetusan pemikiran aparat yang secara spontan dan sedikit impulsif diterapkan sebagai arah gerak laju desa.  

     Mobilisasi partisipasi politik masyarakat melemah, yang ada hanya partisipasi pelaksanakan kegiatan gotong-royong, finansial masyarakat untuk kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintah desa. Partisipasi politik yang pluralistik dibatasi, partisipasi politik rakyat lebih diarahkan terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh para elit penguasa (Mas’oed, 1997:16). Pelaksanaan program pembangunan desa oleh pemerintah telah membuat desa dan penduduknya menjadi semakin tidak berdaya secara politik. Proses pembangunan desa yang berjalan tidak menjadikan desa berubah, berkembang menjadi lebih baik dan lebih bermakna, namun sebaliknya. Ini menjadikan desa baik dari sosial, ekonomi maupun politik justru tetap berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan. 

     Pembangunan yang dimaksudkan untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang masa depan yang diinginkan, namun program pembangunan pedesaan yang ditentukan tidak menciptakan harapan atau kemungkinan pilihan masyarakat (public choice) desa. Pembatasan partisipasi politik masyarakat dalam penerapan kebijakan pembangunan desa (Bangdes) berkaitan dengan masyarakat desa berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 1981 mengenai sistem perencanaan pembangunan desa yang dalam pelaksanaannya cenderung bersifat top down, yang tidak menciptakan pilihan dan harapan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan menyangkut kepentingan masyarakat sangat minimal. Terjadi penyimpangan dari Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Desa bahwa kebijakan pembangunan desa (Bangdes) digunakan untuk program yang diprioritaskan masyarakat desa.  

     Kebijakan program dana pembangunan desa, menitikberatkan pada aspek partisipasi politik masyarakat, respon terhadap program pembangunan dan aspek keberlanjutan program bagi masyarakat desa ditengah keberagaman kemampuan dan kepentingan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sangat terbatas akan mewujudkan pengembangan program pembangunan yang tidak melahirkan kelompok terpinggirkan baru (Mujani, 2002:125). Partisipasi politik masyarakat desa akan menghindari kebijakan program dana pembangunan desa yang sentralistik, dan ditujukan bentuk kepentingan politik masyarakat (A.Gany, 2001:5). Dengan mengacu pada upaya (political empowernment) masyarakat desa yang berprinsip pada lokalitas (Friedman, 1992:168) dan melepaskan diri dari paradiqma yang bersifat dependency creating (Tjokrowinoto, 1996:41), maka dalam upaya menyukseskan pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya partisipasi politik aktif dari masyarakat.  

     Dalam era reformasi pada aras lokal dan sebagai upaya dalam rangka mengoptimalkan partisipasi politik masyarakat desa, inisiatif, inovatif, dan kreatif untuk mendorong kemajuan otonomi asli desa dan menegakkan demokrasi lokal yang selama ini “terpendam” dan telah dimiliki masyarakat, serta upaya pemberdayaan masyarakat desa mencakup community development dan community-based development. (Setyono, 2002:4). Selain itu dalam rangka pelaksanaan pembangunan desa diharapkan partisipasi politik aktif masyarakat untuk mengidentifikasi berbagai masalah pembangunan desa yang dihadapi dengan alternatif pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat.  

     Oleh karena itu, pentingnya melihat pengaruh antara faktor sosial-ekonomi, politik, fisik dan budaya terhadap kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa. Dalam era reformasi pada aras lokal dan sebagai upaya dalam rangka mengoptimalkan partisipasi politik masyarakat desa, inisiatif, inovatif, dan kreatif untuk mendorong kemajuan otonomi asli desa dan menegakkan demokrasi lokal yang selama ini “terpendam” dan telah dimiliki masyarakat, serta upaya pemberdayaan masyarakat desa mencakup community development dan community-based development. (Setyono, 2002:4). Selain itu dalam rangka pelaksanaan pembangunan desa diharapkan partisipasi politik aktif masyarakat untuk mengidentifikasi berbagai masalah pembangunan desa yang dihadapi dengan alternatif pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat. 

Suatu Konsep yang Lahir Untuk Memberdayakan Masyarakat Dalam Kesehatan

    
     Pada evaluasi menjelang Pelita I terungkapkan adanya permasalahan kesehatan yang perlu memperoleh pemecahan segera melalui suatu pendekatan baru, yaitu PKMD. Suatu pendekatan yang diharpkan dapat mengatasi latar belakang permasalahan terhadap meraja lelanya penyakit-penyakit menular yang banyak menimpa rakyat kecil di pedusunan, keadaan under-nurishment yang menyangkut terutama bayi dan balita maupun ibu-ibu dalam masa reproduktif, keadaan sanitasi lingkungan jelek ditambah ekses dari perumbuhan industrialisasi, pertambahan penduduk secara alamiah yang masih tinggi dan tingkat pendapat perkapita yang rendah.



Kebijaksanaan-kebijaksanaan pelayanan selama pelita I karenanya dititik beratkan kepada :
1. perencanaan kesehatan yang lebih baik, kerena sebelumnya masih berupa meraba-   raba sebab belum ada data-data yang akurat. 

2. Melihat kenyataan keterbatasan-keterbatasan dana dan fasiitas maupun atas dasar efektifitas dan efisiensi 

3. Daerah sasaran diprioritaskan pada daerah-daerah pedusunan (yang kemudian lahir konsep PKMD), daerah transmigrasi dan daerah pengembangan / pembanguanan lainnya 

4. Kebijaksanaan pelayanan ditetapkan atas dasar skala prioritas program dengan pertimbangan adanya keterbatasan-keterbatasan diatas 

5. Usaha-usaha preventif maupun promotif lebih ditingkatkan dengan memperhatikan pola keseimbangannya berdasarkan situasionalny dan kondisioningnya. 

     Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) adalah rangkaian kegiatan masyarakat yang dilakukan berdasarkan gotong-royong, swadaya masyarakat dalam rangka menolong mereka sendiri untuk mengenal dan memecahkan masalah atau kebutuhan yang dirasakan masyarakat, baik dalam bidang kesehatan maupun bidang dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan, agar mampu memelihara kehidupannya yang sehat dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. 

     PKMD adalah kegiatan pelayanan kesehatan yang pelaksanaannya didasarkan melalui sistem pelayanan puskesmas, dimana dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan kesehatan oleh lembaga ini diikutsertakan anggota-anggota masyarakat di Pedusunan melalui segala pengarahan untuk menimbulkan kesadaran secara aktif di dalam ikut membantu memecahkan dan mengembangkan usaha-usaha kesehatan di Desanya (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 1976).

       

     PKMD adalah kegiatan atau pelayanan kesehatan berdasarkan sistem pendekatan edukatif masalah kesehatan melalui Puskesmas dimana setiap individu atau kelompok masyarakat dibantu agar dapat melakukan tindakan-tindakan yang tepat dalam mengatasi kesehatan mereka sendiri. Disamping itu kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan juga dapat mendorong timbulnya kreativitas dan inisiatif setiap individu atau kelompok masyarakat untuk ikut secara aktif dalam program-program kesehatan di daerahnya dan menentukan prioritas program sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang bersangkutan. (Kanwil Depkes Jawa Timur)

     Pokok-pokok pemikiran yang fundamental yang melandasi definisi PKMD tersebut diatas ditekankan melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut :

1. Untuk keberhasilan PKMD di suatu daerah herus memanfaatkan pendekatan operasional terpadu (comprehensive operational approach) yang meliputi pendekatan secara sistem (system approach), pendekatan lintas sektoral dan antar program (inter program and inter sektoral approach), pendekatan multi displiner (multi displionary approach), pendekatan edukatif (educational approach), dsb. 

2. Dalam pembinaan terhadap peran serta masyarakat melalui pendekatan edukatif, hendaknya faktor ikut sertanya masyarakat ditempatkan baik sebagai komplemen maupun suplemen terdepan dalam penunjang sistem kesehatan nasional ini. 

3. Sebagai kegiatan yang dikelola sendiri oleh masyarakat, PKMD secara bertahap dan terus menerus harus mampu didorong untuk membuka kemungkinan-kemungkinan menumbuhkan potensi swadayanya melalui pemerataan akan peranserta setiap individu di desa secara lebih luas dan lebih nyata 

4. Puskesmas sebagai pengarah (provider) setempat perlu meningkatkan kegiatan diluar gedung (ourt door activities) untuk mengarahkan “intervensinya “ di dalam memacu secara edukatif terhadap kelestarian kegiatan PKMD oelh masyarakat dibawah bimbingan LSD. 

     Kegiatan masyarakat tersebut diharapkan muncul atas kesadaran dan prakarsa masyarakat sendiri dengan bimbingan dan pembinaan dari pemerintah secara lintas program dan lintas sektoral. Kegiatan tersebut tak lain merupakan bagian integral dari pembangunan nasional umumnya dan pembangunan desa khususnya. Puskesmas sebagai pusat pengembangan kesehatan di tingkat kecamatan mengambil prakarsa untuk bersama-sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan menggerakkan peran serta masyarakat (PSM) dalam bentuk kegiatan PKMD. 

     

     Tujuan PKMD adalah meningkatkan status kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian status kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama lingkungan dan faktor perilaku masyarakat oleh karenanya kegiatan PKMD tidak terbatas dalam bidang pelayanan kesehatan saja, akan tetapi menyangkut juga kegiatan diluar kesehatan yang berkaitan dengan peningkatan status kesehatan dan perbaikan mutu hidup masyarakat.

     Misalnya : Kegiatan usaha bersama dalam bentuk koperasi simpan pinjam untuk meningkatkan pendapatan, atau usaha bersama untuk meningkatkan tarafpendidikan masyarakat dengan bekerja sambil belajar, dan sebagainya. Penegmbangan PKMD tidak terbatas pada daerah pedesaan saja, akan tetapi juga meliputi masyarakat daerah perkotaan yanga berpenghasilan rendah. Kegiatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pos pelayanan terpadu (posyandu) 5 program, yaitu : KIA, KB, Gizi, Imunisasi dan Penanggulangan Diare juga merupakan salah satu bentuk dari kegiatan PKMD.  

     Karena PKMD merupakan bagian integral dari pembangunan desa, sedang wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa adalah LKMD, maka dengan sendirinya wadah kegiatan PKMD adalah LKMD juga. Pembinaan PKMD yang bersifat lintas sektoral dengan sendirinya merupakan bagian dari Tim Pembina LKMD. Dalam rangka menurunkan angka kematian bayi, anak balita dan angka kelahiran, dalam Pelita IV dulu dikembangkan pendekatan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam Pelita IV, dengan cara membina masyarakat untuk berusaha menolong mereka sendiri dalam melaksanakan 5 program prioritas, yaitu : KIA, KB, Gizi, Imunisasi dan Penanggulangan Diare.

     Hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan PKMD yaitu masyarakat perlu dikembangkan pengertiannya yang benar tentang kesehatan dan tentang program-program yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat perlu dikembangkan kesadarannya akan potensi dan sumber daya yang dimiliki serta harus dikembangkan dan dibina kemampuan dan keberaniannya untuk berperan secara aktif dan berswadaya dalam meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan mereka, sikap mental pihak penyelenggara pelayanan perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat menyadari bahwa masyarakat mempunyai hak dan potensi untuk menolong diri mereka sendiri dalam meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan mereka dan harus ada kepekaan dari para pembina untuk memahami aspirasi yang tumbuh dimasyarakat dan dapat berperan secara wajar dan tepat.



     Kelestarian PKMD akan lebih terjamin bila fasilitas yang disediakan dari swadaya masyarakat melalui potensi dan sumberdaya yang ada dimasyarakat yang dapat digali dan dimanfaatkan. Bila masyarakat tidak memilikinya barulah para penyelenggara pembinaan PKMD berusaha untuk memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan ketentuan tidak menimbulkan ketergantungan bagi masyarakat.

     Pembinaan masyarakat desa tidak diintegrasikan dengan pembangunan masyarakat desa secara keseluruhan sebagaimana prototype Srikandi, melainkan dikhususkan secara tersendiri dengan wadah tersendiri pula, yaitu melalui suatu Dana Sehat yang berdiri sendiri . mereka mengorganisir kader kesehatan desa yang sangat menonjol. Sekalipun tidak diintegrasikan didalam LSD, namun pembinaan organisasi dan adminstrasi saderhana oleh Pak Lurahnya. Yang sangat patut dicatat adalah peranan para kader kesehatan desanya yang sangat menonjol dan berdedikasi.

     PKMD disini  merupakan bagian dari pembangunan masyarakat desa yang intervensinya secara lebih teratur dilakukan dari puskesmas setempat. Kegiatan-kegiatan yang menonjol masih berupa dana sehat, pengembangan promotor kesehatan desa, penyuluhan kesehatan maupunpendidikan gizi melalui arisan-arisan ibi-ibu. Pengetrapan teknologi pedesaan setempat dikerjakan melalui sistem dapur sekam maupun pembuatan gas metan dari kotoran (Digeseter). Sehingga melalaui cara-cara ini orang-orang kesehatan berhasil merubah cara-cara tradisional kearah yang lebih maju yang dijalankan serentak dengan usaha-usaha kesehatan.

     Dalam penyelenggaraan PKMD ini puskesmas pemerintah bertindak sebagai pendorong dan pembimbing. Suatu dana sehat diadakan dengan disertai pembentukan promotor kesehatan desa, akan tetapi sayang tidak diintegrasikan dengan pembangunan masyarakat desa. Tidak ada pungutan uang pangakal atau tidak ada usaha bagi suatu koperasi simpan pinjam. Pelaksanaannya agak kaku karena mungkin terikat kepada suatu protokol “Reseach Proyect”. Ini disiapkan melalui suatu perencanaan dari suatu badan konsultant yang terlalu teoritis. Ditetapkan bahwa iuran perkapita atas saran konsultant ditentukan Rp. 40 untuk dapat mencukupi suatu permulaan kegiatan. Dalam keadaan ini masyarakat banyak yang tidak bersedia. Terlalu banyak intervensi oleh unsur-unsur pemerintah antara lain seperti kader Promokesa ditunjuk oleh Lurah atau camat bukan dipilih oleh masyarakat setempat, semuanya merupakan hal-hal yang kurang bisa memperoleh dukungan masyarakat setempat.

Kebijakan Pembangunan Masih Mengisolasikan Masyarakat Desa


     Hingga sekarang masih terjadi pengisolasian desa dan potensi yang ada di sana dari kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan. Dan keberadaan perusahaan-perusahaan besar yang tak jauh dari lingkungan masyarakat desa telah membuat warga kian terpinggirkan. Harusnya pemerintah menyadari apapun kebijakan yang diambil, masyarakatlah aktor atau pelaku utamanya. 

     Demikian pendapat pengamat perekonomian dari Universitas Jambi (Unja), DR. Johannes S, dalam suatu pertemuan dengan KKI (Komunitas Konservasi Indonesia) Warsi. Turut hadir dalam pertemuan itu Kepala KSDA Jambi, Ir. Agus Priambudi, MSc, dan Kasubdin Penataan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Jambi, Ir. H. Daru Pratomo. Dari KKI Warsi sendiri hadir Koordinator Program Suku Anak Dalam (SAD) KKI Warsi, Robert A, dan Koordinator Unit Fasilitasi Desa KKI Warsi, Budi Retno Minulya.  

     Johannes menambahkan harus ada kesatuan atau kesepahaman yang sama dengan masyarakat desa dalam merancang pembangunan ekonomi mereka, apa saja yang menjadi potensi masyarakat desa harus digali dan dijadikan pijakan pembangunan. Selama ini ketika pembangunan dalam bentuk proyek, pemerintah kabupaten tak menyadari pentingnya pembangunan bagi desa-perdesa, hal itu baru terasa penting ketika otonomi digulirkan.  

     Tak jauh berbeda dari pendapat tersebut, Budi Retno Minulya mengatakan seringkali beberapa dari program pembangunan tidak efektif, tak didasari pada kebutuhan desa. Sehingga tak terelakkan masyarakat desa pun mengalihkan perhatian pada potensi hutan, potensi yang ada di desa terabaikan. Salah satunya mengambilan hasil hutan dari Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). “Melakukan penyelamatan terhadap hutan atau TNBD sama artinya dengan upaya pengembangan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat desa. Kita tak bisa ‘teriak’ jangan masuk hutan sementara pengembangan ekonomi mereka tak terpedulikan,” tegasnya.Warsi sendiri telah mengupayakan adanya Gerakan Kembali ke Sawah (GKS) agar masyarakat desa lebih ‘tersibukan’ dalam mengolah sawah mereka.  

     Mengenai keberadaan Orang Rimba dalam kawasan TNBD, menurutnya, juga terancam jika hutan terancam. Secara cultural  Orang Rimba memiliki keterbatasan untuk secepatnya melesap dalam perubahan jika mereka berpindah tempat tinggal (ke luar rimba). Perubahan itu baiknya berlangsung atas keinginan mereka dan tentunya melalui proses bertahap atau secara perlahan dan tak dipaksakan.  

     Untuk komentar tersebut, Robert menambahkan kalau Orang Rimba memiliki kekhususan budaya, mempunyai pantangan-pantangan, sehingga terlihat adanya pembatasan jati diri Orang Rimba dari masyarakat luar hutan. Orang Rimba sangat tergantung pada hutan, tak hanya untuk sekedar mencari makan (berburu atau memperoleh umbi-umbian) namun juga demi kehidupan ritual mereka. Sebagai Antropolog yang sekian lama bergaul dengan Orang Rimba, ternyata Robert tak pernah dapat menyaksikan acara ritual Orang Rimba ini karena budaya ritual itu merupakan rahasia komunitas tersebut yang tak boleh diketahui pihak luar.  

     Kehadiran TNBD, ungkapnya, harus diartikan sebagai sarana untuk mengarahkan mereka hidup normal ke luar rimba. Diiyakininya Orang Rimba pasti bisa mengikuti proses perubahan menjadi masyarakat luar. Namun itu perlu proses pendampingan agar mereka tak tergoncang dengan perubahan hidup di luar. Orang Rimba harus berubah tetapi sesuai dengan daya dukung budaya mereka.  

     Untuk action pemerintah dalam menyelamatkan TNBD, giliran Daru menjelaskan kalau Dinas Kehutanan Jambi telah melakukan penataan batas terhadap TNBD yang masuk kawasan beberapa Kabupaten di Jambi. Namun aplikasi di lapangan diakuinya masih belum sempurna terlaksana. Masih memerlukan sosialisasi tata batas. Dan mengenai upaya penyelamatan hutan secara menyeluruh, dia memaparkan kalau idealnya setiap luasan hutan 5.000 ha harus ada Polhut. Adanya pendapat masyarakat kalau Dinas Kehutanan Jambi memastikan Polhut ada di setiap pos yang ditetapkan namun dalam kenyataan kayu-kayu yang ditebang secara illegal masih saja bisa keluar dari hutan, Daru  menanggapi kalau hal tersebut akan menjadi evaluasi bagi Dinas Kehutanan Jambi. “Kebocoran itu tak boleh lagi terjadi,” ucapnya. 

     Sedangkan kaitannya dengan masyarakat desa, harus ada pelibatan masyarakat dengan perusahaan yang memanfaatkan hutan. Bentuk keterlibatan itu berupa sharing saham dengan perusahaan HPH atau melibatkan mereka sebagai tenaga kerja. Hak adat mereka sendiri juga dihargai. Pembinaan terhadap perusahaan perkebunan harus atas dasar menguntungkan masyarakat. Selanjutnya Agus Priambudi menjelaskan kalau upaya KSDA sendiri demi penyelamatan kawasan hutan terutama TNBD, dengan melakukan perlindungan terhadap jenis potensi hutan yang terdiri dari tanaman obat dan lainnya. KSDA telah upayakan pembudidayaan tanaman obat di lahan seluas 1 ha di Desa  Bukit Suban, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, termasuk di areal perkantoran bupati Sarolangun.

     Nilai ekonomi tanaman ini sangat tinggi bagi masyarakat sekitar TNBD. Namun tentunya membutuhkan kemitraan masyarakat sekitar untuk pengolahannya. Keberadaan TNBD bisa juga  menjadi wisata pendidikan atau rekreasi pendidikan bagi generasi muda Jambi (siswa maupun mahasiswa). Untuk itu jika ada sekolah di Jambi yang ingin masuk ke TNBD bisa diawali dengan menghubungi kantor KSDA Jambi.

Pembangunan Masyarakat Desa dan Kemiskinan


     "Pembangunan masyarakat desa" pada hakekatnya bertujuan meningkatkan taraf hidup "masyarakat" secara keseluruhan agar lebih baik, lebih menyenangkan dan mengenakkan warga "masyarakat" dari keadaan sebelumnya." Mencapai kesejahteraan, itulah yang menjadi tujuannya. "Pembangunan masyarakat desa" dan tujuannya selalu dikaitkan dengan masalah "kemiskinan", yang dialami oleh sebagian "masyarakat" dalam kategori "masyarakat desa", dan lebih khusus lagi "masyarakat" nelayan dan petani kecil." 
     Hambatan dalam pelaksanaan "pembangunan masyarakat desa" di negara-negara Dunia Ketiga, antara lain adalah keadaan penduduk yang sangat "miskin", kebodohan dan pengalaman-pengalaman mereka yang serba menyusahkan dan menyedihkan di masa lampau, menyebabkan para petani dan nelayan pada umumnya dicekam rasa takut, menjadi apatis, berserah diri pada nasib (yang jelek), tidak ada keberanian untuk mencapai prestasi secara individu, tidak ada keberanian menanggung resiko untuk merubah nasib mereka yang bagaikan berada di dalam rawa-rawa yang memerlukan pertolongan dari luar untuk menariknya. 
     Sebenarnya, apa yang dinamakan "miskin" di manapun akan memperlihatkan wajah atau raut muka yang sama. Mereka yang hidup "miskin" di perkotaan, memiliki atribut ke"miskin"an yang tidaklah berbeda dengan sobat-sobat mereka di pe"desa"an. Hanya ada sedikit kelainan dalam hal hubungan-hubungan sosial-ekonomi. Dan lingkungan hidupnya barangkali memberi kekhasan bagi ke"miskin"an di perkotaan. Antara lain dapat disebutkan adanya heterogenitas kelompok "miskin", hubungan sosial-ekonomi yang relatif 'ketat' dari pada di pe"desa"an dan ke"miskin"an di perkotaan, ini seringkali berkaitan erat dengan kriminalitas dari perilaku kekerasan dalam "masyarakat" kota. 
     Dapat dikatakan bahwa dalam era "pembangunan" Indonesia dewasa ini hampir semua program-program "pembangunan" sektoral adalah menuju kepada menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi tingkat "kemiskinan". Artinya, laju pertumbuhan sebagai akibat "pembangunan" itu, pasti akan berdampak positif bagi pengurangan "kemiskinan" tahap demi tahap. Dalam tahap-tahap "pembangunan" sebelum 1980, pelaksanaan "pembangunan" masih dapat menoleransi tingkat "kemiskinan" yang tinggi. Misalnya, lebih dari 30 % jumlah penduduk masih ada di bawah garis "kemiskinan". 
     Dalam sikap toleransi itu, trilogi "pembangunan" unsur pemerataan "pembangunan" dan hasil-hasil "pembangunan" belum memperoleh urutan prioritas pertama. Tetapi, dalam "pembangunan" dewasa ini, yang sudah melewati jangka waktu 29 tahun lebih, unsur pemerataan sudah waktunya dan sepantasnya memperoleh perhatian utama dan penanganan yang sungguh-sungguh. Di Indonesia pada tahun 1980-an, tingkat "kemiskinan" di daerah perkotaan relatif lebih tinggi dari pada tingkat "kemiskinan" di daerah pe"desa"an. Gejala ini adalah kebalikan dari kenyataan dalam tahun 1970-an, yang menunjukkan tingkat "kemiskinan" di daerah pe"desa"an lebih tinggi dari pada tingkat "kemiskinan" di daerah perkotaan. 
     Pada tahun 1976, prosentase penduduk "miskin" di daerah pe"desa"an 40,4 % sedangkan di daerah perkotaan 38,8 % dari masing-masing jumlah penduduknya. Sebaliknya, pada tahun 1987 prosentase penduduk "miskin" daerah pe"desa"an 16,4 % dan di daerah perkotaan 20,1 %. Daerah perkotaan, yang pada umumnya laju "pembangunan"nya, jauh lebih pesat, mempunyai tingkat "kemiskinan" yang relatif lebih tinggi dari pada daerah pe"desa"an. Tingginya  tingkat "kemiskinan" di daerah perkotaan, yang relatif lebih tinggi dari pada daerah pe"desa"an, antara lain disebabkan oleh makin derasnya arus migrasi penduduk "miskin" dari pe"desa"an ke daerah perkotaan. Arus migrasi yang makin besar ini didorong oleh beberapa kesenjangan sosial ekonomi antara kota dan "desa". 
     Makin besar perbedaan laju perkembangan/"pembangunan" antara kota dan "desa", serta makin kurang meratanya "pembangunan" antara kota dan "desa" menyebabkan kesenjangan ekonomi dua wilayah itu makin besar. Perkembangan dan "pembangunan" di daerah perkotaan tidak mempunyai kaitan dan sering tidak secara sadar dikaitkan dengan perkembangan dan "pembangunan" daerah pe"desa"an. Terjadi suatu disintegrasi antara dua wilayah yang berdampingan. Sejalan dengan arus migrasi ke daerah perkotaan itu, tumbuhlah berbagai kegiatan ekonomi yang terkelompokkan dalam sektor informasi yang hidup berdampingan dengan sektor formal di daerah perkotaan. Kehadiran sektor informal bersama-sama dengan sektor formal di perkotaan akan memberikan gambaran yang berbeda dalam kehidupan sosial ekonomi perkotaan, bila dibandingkan dengan pola kehidupan pe"desa"an. 
     Migrasi ke daerah perkotaan tadi, terjadi karena ketidak-berhasilan pelaksanaan "pembangunan" di pe"desa"an. Penduduk desa merasa tidak puas hidup di "desa", sehingga mereka ingin menikmati hidup di kota, mencari pengalaman bekerja di kota padahal mereka tidak mempunyai keterampilan apa-apa. Menurut Drs. N. Daldjoeni, migrasi ke daerah perkotaan ini akan mengakibatkan terlampau besarnya proporsi penduduk secara nasional atau regional yang bertumpuk undung di perkotaan. Hal ini akan menimbulkan masalah misalnya: terbatasnya industri modern menyajikan pekerjaan kepada migran, terlalu luasnya cakupan kegiatan ekonomi sektor informal, serta meratanya pengangguran yang terselubung di perkotaan. Mengingat permasalahan-permasalahan di atas, maka "pembangunan masyarakat desa" perlu lebih ditingkatkan lagi, sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak akan berlarut-larut dan semakin parah.

Pelembagaan Partisipasi Masyarakat Desa Melalui Pembangunan BKM


     Pada era demokratisasi sebagaimana tengah berjalan di negeri ini, masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan pilihan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasinya. Masyarakat memiliki kedaulatan yang cukup luas untuk menentukan orientasi dan arah kebijakan pembangunan yang dikehendaki. Nilai-nilai kedaulatan selayaknya dibangun sebagai kebutuhan kolektif masyarakat dan bebas dari kepentingan individu dan atau golongan. 
     Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum terkecil yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati oleh negara. Pembangunan pedesaan selayaknya mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pembangunan pedesaan dapat dilihat pula sebagai upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk memberdayakan masyarakat, dan upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kokoh. Pembangunan pedesaan bersifat multiaspek, oleh karena itu perlu keterkaitan dengan bidang sektor dan aspek di luar pedesaan  sehingga dapat menjadi pondasi yang kokoh bagi pembangunan nasional.    
     Kepala desa yang menurut undang-undang tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kewenangan dan legitimasi yang cukup kuat untuk membawa desa tersebut ke arah yang dikehendakinya. Namun demikian, masih sedikit masyarakat desa yang sadar bahwa potensi kewenangan ini harus diperjuangkan kejelasannya kepada pemerintah daerah untuk menjadi kewenangan yang lebih terperinci dan dinaungi oleh kebijakan pemerintah daerah yang cukup mengikat. Hal ini perlu dilakukan agar desa tidak hanya menjadi ’tong sampah’ dari urusan-urusan yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah. 
     Pada sisi pengelolaan anggaran, dengan adanya dana perimbangan maka pemerintah desa memiliki keleluasaan untuk mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa (pembangunan) sesuai dengan kebutuhan di desa tersebut. Terlebih lagi saat ini, banyak sekali proyek-proyek pembangunan baik itu dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan dari lembaga donor yang memilih desa sebagai wilayah kerja proyeknya. Proyek-proyek berupa pembangunan fisik sarana prasarana, bantuan sosial hingga bantuan ekonomi sepatutnya menjadi energi pendorong tersendiri bagi desa untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan pembangunan desa. 
     Namun demikian, pengelolaan potensi anggaran ini belum dapat dikoordinasikan dan dikelola dengan cukup baik oleh desa sehingga proyek-proyek tersebut dilaksanakan tidak terencana sebagai bagian dari rencana pembangunan desa yang lebih komprehensif. Kadang-kadang budaya ’nrimo’, asal ada yang mau bantu sudah cukup membuat masyarakat desa sedang padahal belum tentu yang proyek tersebut adalah yang dibutuhkan oleh desa.  
     Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangunan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan desa sebagaimana  dimaksud disusun oleh pemerintahan desa secara partisipatif dengan melibatkan seluruh masyarakat desa. Perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka meliputi, rencana pembangunan jangka menengah desa yang selanjutnya disebut RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dari RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.  
     RPJMD ditetapkan dengan peraturan desa dan RKP-Desa ditetapkan dalam keputusan kepala desa berpedoman pada peraturan daerah. Perencanaan pembangunan desa selayaknya didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada proyek-proyek pembangunan pedesaan yang dilakukan oleh pihak lain di luar pemerintah desa (seperti REKOMPAK dengan Rencana Pembangunan Permukiman-nya), maka dokumen-dokumen perencanaan pembangunan yang dihasilkan harus mengacu dan atau terintegrasi dengan RPJM Desa atau RKP Desa.  
     Sebagaimana dipaparkan dalam UU No. 32 tahun 2004 bahwa di dalam desa terdapat tiga kategori kelembagaan desa yang memiliki peranan dalam tata kelola desa, yaitu: pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan  urusan pemerintahan di tingkat desa (pemerintahan desa) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.  Pemerintahan desa ini dijalankan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan di negeri ini. 
     Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. 
     Reformasi dan otonomi daerah telah menjadi harapan baru bagi pemerintah dan masyarakat desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintah desa, otonomi adalah satu peluang baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa. Hal itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa tanpa harus didikte oleh kepentingan pemerintah daerah dan pusat. Sayangnya kondisi ini ternyata belum berjalan cukup mulus. Sebagai contoh, aspirasi desa yang disampaikan dalam proses musrenbang senantiasa kalah dengan kepentingan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dengan alasan bukan prioritas, pemerataan dan keterbatasan anggaran.  
     Dari sisi masyarakat, poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai birokrasi yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap jalannya pembangunan desa. Dalam proses musrenbang, keberadaan  delegasi masyarakat desa dalam kegiatan musrenbang di tingkat kabupaten/kota gagasannya adalah membuka kran partisipasi masyarakat desa untuk ikut menentukan dan mengawasi penentuan kebijakan pembangunan daerah. Namun demikian, lagi-lagi muncul persoalan bahwa keberadaan delegasi masyarakat ini hanya menjadi ‘kosmetik’ untuk sekedar memenuhi ‘qouta’ adanya partisipasi masyarakat dalam proses musrenbang sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.  
     Merujuk pada kondisi di atas, tampaknya persoalan partisipasi masyarakat desa dalam proses pembangunan di pedesaan harus diwadahi dalam kelembagaan yang jelas serta memiliki legitimasi yang cukup kuat di mata masyarakat desa. Dalam UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya telah dibuka ruang terkait pelembagaan partisipasi masyarakat desa tersebut melalui pembentukan Lembaga Kemasyarakatan. Lembaga Kemasyarakatan atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. 
     Lembaga kemasyarakatan mempunyai tugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa. Pembentukan lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan peraturan desa. Hubungan kerja antara lembaga kemasyarakatan dengan pemerintahan desa bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif. Dalam pelaksanaan kegiatan REKOMPAK di wilayah Kabupaten Ciamis sebelah selatan, proses pembangunan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dimaksudkan untuk mewadahi potensi partisipasi masyarakat desa dalam pengelolaan pembangunan di pedesaan.  
     Pengelolaan pembangunan pedesaan dimaksud adalah segala urusan yang terkait dengan kegiatan pembangunan pedesaan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pendayagunaan produk pembangunan di tingkat desa. Lebih dari itu, BKM juga dapat berperan dalam memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa lepada pihak-pihak lain diluar pemerintah desa. Apabila dikaji lebih lanjut, karakteristik BKM memiliki kesesuaian dengan ciri-ciri lembaga kemasyarakatan sebagaimana dipaparkan di atas. 
     BKM malah seharusnya memiliki legitimasi yang cukup kuat karena anggota-anggota dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui serangkaian kegiatan pemilihan mulai dari tingkat RT. Kriteria calon anggota BKM pun dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat untuk menemukan sosok-sosok ‘orang baik’ yang akan mengendalikan BKM di desanya. Selain itu, proses pengambilan keputusan tertinggi dalam BKM adalah musyawarah warga di tingkat desa.  
     Harapan yang cukup besar dari masyarakat  desa disandarkan di pundak BKM untuk benarbenar menjadi lembaga masyarakat yang cukup ‘capable’ untuk memperjuangkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat desa. Berbekal dokumen Rencana Pembangunan Permukiman (RPP), BKM diharapkan dapat menjadi ‘marketing’-nya masyarakat untuk mempromosikan kebutuhan pembangunan di desanya kepada pemerintah kabupaten, provinsi, pusat serta pihak-pihak lain yang memiliki perhatian terhadap pembangunan pedesaan.

Membangun Masyarakat berbasis Islami


1. Konsep Masyarakat

     UUD 45 bahkan sebelumnya adalah Piagam Jakarta yang kental dengan semangat ke Islaman. Akan tetapi harus juga diakui adanya realita bahwa banyak pemimpin muslim (bukan pemimpin Islam) dan juga anggauta masyarakat Islam yang tidak menjadikan ajaran Islam sebagai rujukan ketika harus memutuskan berbagai permasalahan. Ada yang lebih mengikuti budaya lokal (dan kepentingan lokal) dan ada yang mengikuti konsep sekuler dari Barat. Ketika dunia mengalami krisis, banyak orang mencari pemikiran alternatip sebagai upaya mencari solusi. Diantara pemikiran yang kini ditengok adalah konsep Islam tentang berbagai hal. Bank syari'ah yang pernah begitu lama dihambat kelahirannya misalnya, kini justeru menjadi trend di kalangan perbangkan nasional, disusul oleh Asuransi syari'ah, akuntansi syari'ah, reksadana syari'ah, menejemen syari'ah dan sebagainya. 
     Secara lahir, masyarakat nampaknya terbangun secara alamiah, tetapi bagi pemimpin, masyarakat itu harus dibangun, dan apa saja yang dibangun harus ada konsepnya. Bangunan tanpa konsep atau salah konsep akan berakibat rusaknya tatanan, seperti rusaknya tatanan masyarakat Indonesia dewasa ini. Sejalan dengan semangat reformasi, sudah tiba saatnya kita menggali konsep yang inspirasinya bersumber dari wahyu, dalam hal ini yang akan kita kaji adalah konsep masyarakat menurut al Qur'an.

2. Pengertian Masyarakat

     Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab musyarakah. Dalam bahasa Arab sendiri masyarakat disebut dengan sebutan mujtama`, yang menurut Ibn Manzur dalam Lisan al `Arab mengandung arti (1) pokok dari segala sesuatu, yakni tempat tumbuhnya keturunan, (2) kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda . Sedangkan musyarakah mengandung arti berserikat, bersekutu dan saling bekerjasama. Jadi dari kata musyarakah dan mujtama` sudah dapat ditarik pengertian bahwa masyarakat adalah kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda tetapi menyatu dalam ikatan kerjasama, dan mematuhi peraturan yang disepakati bersama.  

     Dari pengertian itu maka dapat kita bayangkan bagaimana anatomi dari masyarakat yang berbeda-beda. Dapat dijumpai misalnya ada; masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat Indonesia, masyarakat dunia, masyarakat Jawa, masyarakat Islam, masyarakat pendidikan, masyarakat politik dan sebagainya.Semua jenis masyarakat tersebut pastilah terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda tetapi mereka menyatu dalam satu tatanan sebagai wujud dari kehendak bersama. 

     Karena adanya dua atau beberapa kutub; yakni berasal dari unsur yang berbeda-beda tetapi bermaksud menyatu dalam satu tatanan, maka dari kutub pertama ke kutub ke dua ada proses yang membutuhkan waktu yang panjang. Masyarakat Indonesia misalnya, sudahkah mereka menyatu dalam kesatuan ? ternyata setengah abad merdeka belum cukup waktu untuk menyatukan sebuah masyarakat Indonesia meski sudah diwadahi dengan istilah Bhineka Tunggal Ika. Abad pertama kemerdekaan Indonesia nampaknya masyarakat Indonesia sebagai satu kesatuan masih merupakan nation in making, masih dalam proses menjadi. Hambatan dari proses itu adalah adanya rujukan dan kepentingan yang berbeda-beda. Demikian juga masyarakat Islam Indonesia, masyarakat OKI dan sebagainya. 

Teologi Masyarakat

     Dalam konteks ajaran Islam, indifidu tak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menusia itu sendiri diciptakan Tuhan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal (dan saling memberi manfaat), lita`arafu (Q/49:13). Disamping adanya perlindungan terhadap individu, juga ada perlindungan terhadap masyarakat. Meski individu memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain, sehingga Islam menghendaki adanya keseimbangan yang proporsional antara hak individu dan hak masyarakat, antara kewajiban individu dan kewajiban masyarakat, juga keseimbangan antara hak dan kewajiban. 

     Dari Maqasid as Syari`ah (filsafat Hukum Islam) yang menyebut al kulliyyat al khamsah misalnya, mengambarkan konsep masyarakat dimana setiap individu harus dijamin hak-haknya dimana Pemerintah atau ulil amri sebagai wakil masyarakat yang tertinggi berkewajiban melindungi jiwa (khifdz an nafs) , hak kepemilikan harta (khifdz al mal), hak akal (khifsz al `aql atau hak intelektual) , hak beragama (khifdz ad din atau hak berkeyakinan) dan hak memelihara kesucian keturunan (khifdz an nasl). 

     Menurut al Qur'an, meski masyarakat itu merupakan kerjasama horizontal antar manusia, tetapi ia merupakan bagian dari hubungan vertikal dengan Tuhan. Oleh karena itu di dalam ber musyarakah (bermasyarakat) juga ada dimensi teologis, misalnya; salat menjadi tidak relevan jika melupakan komitmen sosial. Neraka wail disediakan bagi orang yang salat tetapi acuh terhadap komitmen sosial, dan orang seperti itu oleh al Qur'an dipandang sebagai orang yang mendustakan agama , araitalladzi yukazzibu biddin (Q/107). 

     Demikian juga dalam hal tertib sosial, ketaatan kepada otoritas pemerintah disejajarkan dengan ketaatan kepada kepada Tuhan dan Rasul, athi`ullah wa athi`ur rasul wa uli al amri minkum (Q/4:59) . Dari hadis Nabi juga dapat diketahui bahwa rahmat Allah itu harus dipancing dengan komitmen sosial; irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama'. Kontrak sosial dalam pernikahan juga bersifat vertikal dan horizontal, istahlaltum furujahunna bi kalimatillah wa akhaztumuhunna bi amanatillah. artinya; kalian dihalalkan menyetubuhi istrimu dengan nama Alloh, dan kalian mengambil tanggung jawab atas isteri dengan amanat dari Alloh. Manusia tidak dibiarkan begitu saja oleh Tuhan, tetapi Menurut al Qur'an, Allah selalu hadir dalam kehidupan masyarakat (mengawasi); inna rabbaka labi al mirshad (Q/89:14).  

     Masyarakat terbentuk sebagai wujud ketergantungan individu terhadap orang lain, karena manusia memang makhluk sosial. Manusia akan menjadi apa dan siapa tergantung dengan siapa ia bermasyarakat. Manusia di satu sisi memiliki tabiat kooperatip, tabiat bekerjasama dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Di sisi lain manusia juga memiliki tabiat kompetitip, bersaing dengan yang lain dalam mencapai apa yang dibutuhkan. Tetapi manusia sebagai hayawanun nathiqun (hewan yang berfikir) terkadang lebih dominan hewannya dibanding berfikirnya.  

     Sebuah Hadis Rasul bahkan menyebut tiga klassifikasi manusia, yaitu (1) shinfun hayawanun; yakni manusia dengan tabiat binatang, (2) shinfun ajsamuhum bani Adam wa arwahuhum arwah as syayathin (manusia dengan tabiat syaitan) dan (3) shinfun fi dzillillah (manusia pilihan). Oleh karena itu dalam bermasyarakat, terutama ketika sedang berkompetisi ekpressi manusia bermacam-macam, ada yang lebih menonjol kebinatangannya, ada yang lebih menonjol kesyaitanannya, dan sedikit yang mencerminkan manusia pilihan.  

     Dalam hal manusia bertabiat hewan, ada yang seperti anjing (dengki), serigala (predator/buas) , ular (licik) , ayam jago ( ), dan lalat (yang bersih dan yang kotor diembat semua). Ciri manusia binatang adlah punya hati tapi tak berfungsi untuk berperasaan, punya mata tapi tak berfungsi untuk membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak, punya telinga tapi tak berfungsi untuk membedakan mana yang perlu didengar dan yang tidak boleh didengar. Sedangkan cirri manusia syaitan adalah mereka tidak memiliki perikemanusiaan sekaligus tidak juga memiliki perikebinatangan. 

     Al Qur'an sebagai petunjuk hidup manusia juga membimbing mereka dalam membangun sebuah masyarakat. Tatanan masyarakat yang dikehendaki al Qur'an adalah masyarakat yang adil , berdasarkan etika dan dapat bertahan di muka bumi, dan model masyarakat seperti itu hanya mungkin terwujud jika memiliki ideologi. Manusia memiliki kebutuhan fitri untuk mempertahankan hidupnya, oleh karena itu manusia terdorong untuk memiliki jaminan ekonomi dan jaminan rasa aman. Semua tatanan masyarakat sebenarnya dimaksud untuk memperoleh dua hal tersebut. Oleh karena itu tuntunan Al Qur'an dalam membangun masyarakat juga mengedepankan infratruktur kesejahteraan sosial bagi terwujudnya dua jaminan tersebut. 

Penerapan Agropolitan Centre Membangun Masyarakat Desa ( Sebuah Konsep Pembangunan Kota di Ladang )



     Kenyataan telah membuktikan dan menyadarkan kita semua akan pentingnya peran strategis sektor pertanian sebagai pilar penyangga atau basis utama ekonomi nasional dalam upaya penanggulangan dampak krisis yang lebih parah. Sektor pertanian rakyat serta usaha kecil dan menengah relatif mampu bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi dan menyelamatkan negara kita dari situasi yang lebih parah. Disamping pendekatan kemitraan dan penguatan jaringan, akan disinergikan pula dengan pendekatan peningkatan nilai tambah produksi pada usaha-usaha kecil yang berorientasi pada pasar/ekspor sesuai kompetensi ekonomi lokal daerahnya. 
     Sudah saatnya pembangunan ekonomi daerah yang menyangkut sebagian besar kepentingan ekonomi rakyat banyak tidak berhenti pada retorika saja, melainkan harus sesegera mungkin diwujudkan dalam aksi nyata dan dukungan kebijaksanaan makro ekonomi. Seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Musirawas melalui penerapan konsep pengembangan agropolitan dan agribisnis dalam pembangunan ekonomi daerah atau pengembangan ekonomi lokal.  
     Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan Mc.Douglass dan Friedmann (1974, dalam Pasaribu, 1999) sebagai strategi untuk pengembangan perdesaan. Konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah “konsep pembangunan kota di tengah ladang”.  
     Dengan demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan yang berhubungan dengan masalah produksi dan pemasaran maupun masalah yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan setiap hari. Pusat pelayanan diberikan pada setingkat desa, sehingga sangat dekat dengan pemukiman petani, baik pelayanan mengenai teknik berbudidaya pertanian maupun kredit modal kerja dan informasi pasar. Besarnya biaya produksi dan biaya pemasaran dapat diperkecil dengan meningkatkan faktor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran.  

     Dalam konsep agropolitan juga diperkenalkan adanya agropolitan district, suatu daerah perdesaan dengan radius pelayanan 5 – 10 km dan dengan jumlah penduduk 50 – 150 ribu jiwa serta kepadatan minimal 200 jiwa/km2. Jasa-jasa dan pelayanan yang disediakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setempat. Agropolitan district perlu mempunyai otonomi lokal yang memberi tatanan terbentuknya pusat-pusat pelayanan di kawasan perdesaan telah dikenal sejak lama. Pusat-pusat pelayanan tersebut dicirikan dengan adanya pasar-pasar untuk pelayanan masyarakat perdesaan.  
      Pada zaman penjajahan, fungsi utama pusat-pusat pelayanan perdesaan dikaitkan dengan kebutuhan pemerintah kolonial atau perusahaan perkebunan maupun pertanian untuk meningkatkan produksi dan atau mengangkut hasil produksi perkebunan. Untuk itu banyak dibangun jaringan rel kereta api yang menghubungkan pusat produksi di perdesaan dengan pusat pengumpulan yang lebih besar untuk diangkut ke luar wilayah dan diekspor ke Eropa. Saat itu kepentingan utamanya adalah untuk menghasilkan produk-produk yang berorientasi pada ekspor yang menguntungkan negara penjajah, mengingat semua keuntungan yang diperoleh dari perkebunan di Indonesia diinvestasikan kembali di negara penjajah. Petani dan negara jajahan tidak mendapat keuntungan sama sekali. Pusat-pusat agropolitan dan agropolitan distrik yang berkembang saat itu sekarang telah berkembang menjadi beberapa kota metropolitan. 
     Agropolitan adalah suatu konsep pembangunan berdasarkan aspirasi masyarakat bawah yang tujuannya tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi juga mengembangkan segala aspek kehidupan sosial. Agropolitan merupakan bentuk pembangunan yang memadukan pembangunan pertanian (sektor basis di perdesaan) dengan sektor industri yang selama ini secara terpusat dikembangkan di kota-kota tertentu saja. Secara luas pengembangan agropolitan berarti mengembangkan perdesaan dengan cara memperkenalkan fasilitas-fasilitas kota modern yang disesuaikan dengan lingkungan perdesaan. Ini berarti tidak mendorong perpindahan penduduk desa ke kota, tetapi mendorong mereka untuk tinggal di tempat dan menanamkan modal di daerah perdesaan, karena kebutuhan-kebutuhan dasar telah dapat terpenuhi di desa. Hal ini dimungkinkan, karena desa telah diubah menjadi bentuk campuran yang dinamakan agropolis atau kota di ladang.
     Konsep Agropolitan Centre diharapkan akan menarik pengembangan ekonomi berbasis agribisnis oleh karenanya perlu diciptakan suatu keterpaduan antara kawasan Agropolitan dengan kawasan distrik. Dan itu telah diwujudkan dengan membangun 5 Agropolitan Distrik, yaitu Simpang Nibung, Megang Sakti, Prabumulih (Muara Lakitan), Simpang Terawas dan Simpang Semambang. Dan tidak hanya sampai disitu, 2010 Bupati H Ridwan Mukti pun telah mencanangkan 3 Agropolitan Distrik baru sebagai penyangga Agropolitan Centre yakni Agropolitan Distrik Muara Kulam, Agropolitan Distrik Muara Rupit dan Agropolitan Distrik BTS Ulu Cecar. Maka jumlah keseluruhan distrik sebanyak 8 distrik dan satu Agropilitan Center (AC).  

     Pengembangan konsep Agropolitan Centre dan Agropolitan Distrik memang sebuah langkah strategis yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Musirawas dalam upaya jemput bola untuk mensejahterahkan masyarakat dengan menggunakan seluruh potensi yang ada di wilayah mereka (distrik), sehingga seluruh aktivitas ekonomi masyarakat akan lebih efektif dan efesien, dikarenakan seluruh fasilitas pelayanan tersedia didaerah mereka (distrik), dimana akhirnya seluruh sirkulasi ekonomi akan bermuara di Agropolitan Centre (ibukota). 

Minggu, 01 Mei 2011

Membangun Perpustakaan Desa Menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan Secara Merata

     
     Sebuah bangsa bisa dinilai maju atau tidak dalam peradaban dan kebudayaannya seiring dengan tingkat kecerdasan warga negaranya dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa salah satu inti tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa setiap warga negara berhak untuk hidup cerdas. Karenanya, pemerintah berkewajiban untuk membebaskan warga negaranya dari kebodohan dan keterbelakangan, sekaligus juga berkewajiban menjamin dan menyediakan sarana dan prasarana untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. 
     Masyarakat membutuhkan sarana untuk terus belajar dan mengembangkan wawasan serta pengetahuannya agar hidupnya menjadi semakin cerdas, berkualitas, dan mampu berkompetisi dalam percaturan global. Bagi bangsa Indonesia, upaya meningkatkan dunia perpustakaan merupakan tantangan besar yang dihadapi dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena, sampai saat ini keberadaan perpustakaan belum memperoleh tempat yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Citra yang muncul tentang perpustakaan di Indonesia justru membuat kita prihatin. Perpustakaan hanya sebatas sebagai gudang buku, tempat baca atau taman bacaan, tempat menyimpan majalah dan kliping-kliping koran yang berdebu dengan kualitas yang sudah usang. Perpustakaan masih belum dijadikan sebagai sumber rujukan informasi yang penting. 
     Padahal, dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat pasal-pasal yang menguatkan pentingnya keberadaan Perpustakaan dan sistemnya, yaitu : (1) Pasal 28 F tentang hak untuk komunikasi dan memperoleh informasi, (2) Pasal 31 tentang pendidikan dan kewajiban pemerintah dalam memajukan Iptek dan (3) Pasal 32 tentang kebudayaan. Secara tersirat  pasal-pasal tersebut menyatakan diperlukannya wadah untuk mendapatkan informasi dengan mudah, tersedianya sarana pendidikan dan meningkatkan perkembangan Iptek serta kewajiban untuk memelihara dan melestarikan budaya di Indonesia. 
     Wadah dari semua itu tidak lain adalah perpustakaan. Perpustakaan merupakan salah satu di antara sarana dan sumber belajar yang efektif untuk menambah pengetahuan melalui beraneka bacaan. Berbeda dengan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari secara klasikal di sekolah, perpustakaan menyediakan berbagai bahan pustaka yang secara individual dapat digumuli oleh peminatnya masing-masing. 
    Banyak kawasan di Indonesia yang sangat memerlukan dukungan perpustakaan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakatnya. Untuk keperluan itu tidak cukup hanya tersedia sekolah-sekolah yang menampung anak-anak usia sekolah, melainkan diperlukan juga tersedianya bahan pustaka yang efektif sebagai sumber belajar bagi populasinya yang tidak bersekolah dan sebagai orang dewasa telah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi nafkah keluarganya. 
      Bagi masyarakat yang berada di daerah perkotaan tentunya tidak sulit untuk membeli buku-buku atau mencari informasi yang diinginkan, namun bagi masyarakat yang berada di daerah pedesaan dan berpenghasilan kecil tentu akan merasa berat dan sulit untuk mendapatkannya. Bagaimana tidak, ketika ingin membeli buku untuk mendapatkan sebuah informasi mereka harus berpikir berulang-ulang, memperhitungkan matang-matang dengan pendapatan yang dimilkinya. Mereka akan lebih mendahulukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya informasi yang seharusnya mereka dapatkan harus pupus karena keterbatasan pendapatan yang dimilkinya. 
     Oleh sebab itu betapa pentingnya penyebaran informasi melalui perpustakaan dikalangan masyarakat desa dengan begitu masyarakat dapat memperoleh informasi-informasi yang diinginkan dengan mudah sehingga dapat meningkatnya kecerdasan masyarakat yang merata dan meluaskan cakrawala pandangan masyarakat yang bersangkutan. 
     Perpustakaan merupakan pusat sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan. Perpustakaan bisa berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Kebijakan untuk memajukan dunia perpustakaan di Indonesia dinilai merupakan opsi yang paling realistis sebagai wahana belajar sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan Nasional. 
     Dalam upaya peningkatan kualitas SDM, seyogyanya dapat diarahkan kepada pembinaan dan pengembangan perpustakaan desa. Dalam Keputusan Menteri Dalam negeri dan Otda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Perpustakaan Desa dan Kelurahan disebutkan bahwa dalam rangka mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat serta menunjang pelaksanaan pendidikan nasional perlu diselenggarakan satu sumber belajar masyarakat dalam bentuk Perpustakaan Desa (perpusdes). Dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Perpustakaan Desa atau Kelurahan berkedudukan dan diselenggarakan di setiap desa dan kelurahan. 
Oleh sebab itu segenap pihak, baik pemerintah, perpusda, perangkat desa, maupun masyarakat, perlu mendukung program pemberdayaan perpusdes melalui langkah-langkah strategis antara lain: 
  1. Perpusda harus mau memperlakukan perpusdes sebagai anak asuh. Itu artinya, perpusda setiap saat harus mau berkeliling meninjau, memberi motivasi, dan memberi bantuan dari segi peranti lunak maupun peranti keras bagi perpusdes. 
  2. Sebagai bapak asuh, perpusda harus mau mengadakan penyuluhan atau berbagai pelatihan bagi para pengelola atau pustakawan perpusdes. Agar perpustakaan desa dapat berkembang dengan baik, perlu adanya sosialisasi sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman terhadap peran dan fungsi perpustakaan desa oleh kepala desa. Sosialisasi yang bisa dilakukan antara lain dalam bentuk proses pembelajaran yang diikuti oleh para kepala desa atau kepala kelurahan yang ditunjuk. Adapun materi sosialisasi yang disampaikan antara lain : (1) kebijakan pengembangan perpustakaan desa, (2) peran dan fungsi perpustakaan desa dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat desa, (3) pengelolaan perpustakaan.
  3. Pemerintah daerah bersama pemerintah desa harus bekerja sama mencari solusi finansial bagi keberlangsungan perpusdes. Berkait dengan finansial, sejatinya pemerintah pusat telah mengaturnya secara perinci, khususnya melalui Undang-Undang (UU) 43/2007 tentang Perpustakaan. Dalam UU itu disebutkan adanya kewajiban institusi sekolah, desa, dan kecamatan untuk mengalokasikan 5 % dana dari total pendapatannya. Dana tersebut diperuntukkan bagi pemeliharaan dan pengelolaan perpusdes. Maka tidak ada alasan bagi pemda maupun pemerintah desa untuk tidak melaksanakannya.
  4. Pemerintah desa perlu menjalin kerja sama dengan media massa, universitas, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak pada pemberdayaan masyarakat. Misalnya, media massa diberi tempat untuk pencitraan dengan imbal-balik memberikan produknya secara cuma-cuma, yang dipajang sebagai koran dinding atau majalah dinding (mading), dan sebagainya.
  5. Masyarakat desa juga bisa memberi kontribusi, misalnya, dengan menjaga keutuhan perpusdes berupa ruangan, koleksi, sarana, dan prasarananya. Masyarakat juga harus menciptakan ketertiban, menaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pengelola perpusdes, dan menjadikannya sebagai tempat terhormat.
     Sudah saatnya, perpusdes dihidupkan dan diberdayakan sebagai sarana mendekatkan masyarakat kepada buku sebagai sumber pengetahuan. Ketika masyarakat akar rumput (grassroots) sudah dekat dengan buku, maka sudah bisa dipastikan peradaban bangsa ditegakkan, dan masyarakatpun semakin siap menghadapi tantangan globalisasi.